Curahan Hati Seorang Guru Honorer Yang Telah 20 Tahun Mengapdi
Sungguh ironis memang menyaksikan dan mendengar teriakan para guru honorer , silahkan di baca dongeng berikut mudah-mudahan sanggup menjadi motivasi dan semangat tersindiri dalam mengajar , mudah-mudahan berfaedah .
METRONEWS.CLICK - Terseok-seok menyusuri jalan berliku dan berkerikil. Badan letih. Pikiran tak lagi jernih. Antara dapur dan umur yang kian beranjak senja. Mau tidak mau ia mesti menimbang-nimbang dapur sehingga anak istri hidup sejahtera. Memikirkan umur yang kian rentan terhadap serangan kekebalan badan , ia resah sebab belum ada titik terperinci perihal usahanya.

“Orang senang sebab memperoleh honor bulanan!” tegasnya.
Rumah kayu dengan atap rumbia tidak lagi utuh jikalau dilihat saksama. Arti senang memang berbeda. Satu hal yang niscaya , senang itu senantiasa disokong dengan hidup mapan. Sifat temperamental justru gampang timbul di ketika genting. Belum lagi jikalau keperluan hidup terus mengalir dan waktu tak pernah merubah nasib.
“Saya berupaya , sama dengan orang lain!” nada perih itu terdengar tegas. “Saya pergi pagi meninggalkan rumah , anak istri untuk menggais rejeki yang tak ada hasilnya!” bunyi itu lebih dalam ketimbang yang sanggup diselami maknanya. Mata pria itu berkaca-kaca. Gagahnya tak pernah pudar. Keras hatinya tak dibuat-buat. Namun dari semua yang terbaca , luka dihatinya tak sanggup digantikan dengan apapun – bahkan dengan iming-iming pengangkatan menjadi pegawai negeri sebagaimana yang sudah dijanjikan.
“Saya dizalimi ,” ungkapnya dengan parau. Mungkin ia meredam emosi yang berkecamuk. Ingin menyampaikan bahwa dirinya tegar dalam lelah. Padahal lelahnya terlihat dari sorot mata dan nada yang ia keluarkan.
“Lebih dua puluh tahun saya honor. Saya nrimo mengajar. Ratusan generasi sudah terdidik dan sukses. Mengapa saya diabaikan?”
Tersisih , terisak dalam sendiri dan tidak tahu mengadu terhadap siapa. Mereka yang menghasilkan kontrak tak pernah menepati. Berapa generasi pemerintah berganti tetapi namanya juga belum tercatat selaku kepingan dari mereka yang memperoleh honor tetap. Ia terus diamini selaku pengajar yang nrimo membuatkan padahal dirinya butuh makan sebab kerangka insan yang diembankan memerlukan suplai energi.
“Selalu saya dibuang!” nadanya berganti emosi. Matanya menyerupai menyala. Gerahangnya tegas. Keringat mulai bercucuran di keningnya. Tubuh letih itu tak menafikan bahwa dirinya kasatmata diabaikan oleh hukum pemerintah. “Orang-orang itu , gres honor sudah jadi pegawai sebab ibu bapaknya pejabat. Kami dianggap tak ada sebab banyak sekali alasan!”
Tahulah belakangan ini pengangkatan honorer menjadi pegawai kian marak. Namun namanya bahkan mulanya tak tercantum. Kemudian disarankan kembali dan ada di sana tetapi prosesnya kian bertele-tele. Ia digeser oleh entah siapa yang menurutnya sudah berpihak terhadap kekuasaan. Ia dibuang oleh mereka yang gres memulai.
“Mengajar itu pengalaman hidup , tak sekadar ilmu semata!” sorot matanya memendam suatu asa terhadap siapa yang sudah merenggut kedudukannya. Ia yang semula percaya akan dihargai tetapi kembali jatuh ke tanah merah lembap sebab dirinya tak ada apa-apa dibandingkan dengan mereka yang mengandalkan duit dan tahta.
“Apakah saya ndeso sebab tidak lulus verifikasi? Bagaimana dengan anak didik saya yang berhasil melakukan pekerjaan jadi guru , orang kantor , pegawai bank dan lain-lain itu? Saya yang mengajarkan mereka. Saya yang mendikte abjad demi abjad sebelum mereka cerdas membaca!”
Sebentar termenung. Kata-katanya benar. Tidak ada argumentasi pemerintah atau siapapun itu dengan lantang menyampaikan guru honorer itu bodoh. Karena keberuntungan mereka berada di sisi yang salah dan dianggap anak bawang. Pengabdiannya puluhan tahun sudah mencetak generasi yang mungkin saja sedang menghina guru honorer di kepingan bumi lain. Generasi yang sedang memimpin , melakukan pekerjaan di bidang masing-masing tetap saja buah karya guru di sekolah , pegawai negeri maupun honorer!
“Apakah saya sungguh-sungguh bodoh?” pertanyaan itu menghasilkan dirinya terlihat bodoh. Bukan ndeso dalam arti tidak sanggup mengajar atau menguasai pelajaran di kelas. Bagian itu biarlah miliknya seorang. Bodohnya sebab berada dalam keputusasaan yang teramat panjang. Sampai kapan?
“Orang-orang akan ada dana pensiun setelah mengajar puluhan tahun ,” ungkapnya lirih. Dan dia? Harus kembali ke sawah , memangkul cangkul , menanam padi , memasarkan hasil panen yang tidak seberapa , hingga usia tuanya tak sanggup lagi bernyali. Saat ini datang , siapa yang peduli padanya? Pada pengabdiannya. Pada keikhlasan hidupnya. Pada mereka yang memenjarakan dirinya sebab birokrasi. Pada mereka yang berkoar-koar atas kekuasaan. Pada mereka yang membuang kedudukan seorang guru honorer.
“Tanpa guru honor , sekolah akan tutup!” suaranya lantang. Guru pegawai mengajar sesuai hukum main 24 jam , sesuai mata pelajarannya pula. Jam-jam yang kurang tersebut mau tidak mau mesti dilimpahkan terhadap guru honor. Sayangnya , pemerintah buta akan hal ini dan masih menilai guru honorer tidak penting padahal kelemahan guru ada di mana-mana!
“Dari tahun ke tahun , keikhlasan ganjaran mengajar itu. Kami berharap akan diangkat. Tapi apa yang terjadi?” mereka diabaikan. Lucunya sekolah memerlukan tenaga honor tetapi tanpa bayaran padahal dana di sekolah hebat banyaknya. Jika dilihat pergantian insfrastuktur juga tak banyak berubah. Tiap tahun dana itu berganti. Dana yang masuk ke kas sekolah pun tak pernah kembali ke negara. Secuil saja bolehlah diambil untuk tenaga honor sebelum kepala sekolah atau bendaharanya naik kendaraan roda empat!
“250 ribu perbulan itu omong kosong!” segitukah? Informasi yang beredar memang demikian. Namun ia mengaku tak pernah memperoleh apa yang dijanjikan pemerintah tersebut. Kemudian apa yang ia tuntut?
“Keluarga saya butuh makan , Bang!” Wandi , sebut saja namanya begitu , menutup penjamuan senja itu dengan lirih. Mata pria empat puluhan tahun ini berkaca-kaca. Saya tidak sanggup berbuat apa-apa. Kekuasaan itu mutlak ada pada mereka yang menorehkan tinta di kertas putih.
Sumber : (http://log.viva.co.id)
Tidak ada komentar untuk "Curahan Hati Seorang Guru Honorer Yang Telah 20 Tahun Mengapdi"
Posting Komentar