Kisah Marah Anis Baswedan Dan Memo Yang Bocor
Jangan hingga anda lewatkan ini suatu gunjingan dan Informasi ynag sungguh Konfensional Seorang Menteri tidak menhiraukan rakyatnya ,simak ulasanya selaku berikut
Sabtu pekan kemudian , Anies Baswedan seumpama biasa meluangkan diri menulis memo harian untuk jajarannya sembari menghabiskan waktu dalam perjalanan. Menulis memo , kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu , ialah salah satu rutinitasnya mempertahankan komunikasi dengan para bawahannya.
"Saya sering nulis-nulis pesan di saat dalam perjalanan. Memo ini prinsipnya untuk ingatkan mereka biar stick pada visi kami (Kemendikbud) ," kata Anies di sela rapat Kemendikbud dengan Komisi X di Gedung dewan perwakilan rakyat RI , Jakarta , kemarin.
Menulis memo , menurut Anies , ampuh untuk mempertahankan kedisiplinan jajarannya. Memo itu tak pernah ia sebar luaskan alasannya yakni khusus untuk internal kementerian.
"Saya tulis memo kemudian kirim ke grup WhatAapp khusus eselon I (Kemendikbud). Tapi terkadang mereka (pegawai eselon I) izin untuk sebar ke eselon lainnya. Ya sudah tidak tahu hingga mana lagi memo itu ," ujar Anies sembari tertawa.
Namun karenanya , salah satu memo internal Anies itu bocor Sabtu malam dan pribadi beredar trend di media sosial.
Isi memo yang bocor itu sama sekali tak menggembirakan alasannya yakni berisi murka Menteri Anies. Ia berang dan kecewa dengan kinerja jajarannya yang tak optimal melayani penduduk , terutama para guru.
Memo itu diawali dengan dongeng Anies kala berjumpa seorang guru Taman Kanak-kanak asal Magelang , Ibu Mei , di kantor kementeriannya. Saat itu Ibu Mei sedang mengorganisir surat kepangkatan , tetapi tak sukses merampungkan urusan surat itu karena petugas tak ada di tempat.
Padahal , Ibu Mei mesti secepatnya kembali ke Magelang alasannya yakni terlanjur memesan tiket pesawat pulang-pergi. Ibu Mei sudah hendak mengalah mengurusi surat kepangkatannya di saat berjumpa Menteri Anies –yang pribadi murka begitu mendengar dongeng guru Taman Kanak-kanak itu.
Anies geram , lantas mengajak Ibu Mei ke ruangannya. Tak usang sehabis peristiwa itu berlalu , memo berisi kemarahan Anies pun menyebar.
"Bapak dan Ibu semua , seorang ibu guru Taman Kanak-kanak yang sudah amat senior dari pinggiran Kabupaten Magelang sudah habiskan duit untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta pulang-pergi dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat. Ini tidak sebaiknya terjadi dan dihentikan berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG ," demikian kutipan isi memo internal Anies.
Anies menyesalkan hal seumpama itu masih terjadi pada lembaganya. Mestinya , kata Anies , petugas tidak meninggalkan daerah kerjanya di saat sedang berjaga biar tetap sanggup melayani masyarakat.
Anies pun mengancam akan memberi hukuman tegas terhadap bawahannya yang tertangkap lembap melakukan pekerjaan tanpa punya niat melayani masyarakat.
"Sanksi tegas ada , namun nanti dibicarakan internal saja. Saya enggak kegemaran mempermalukan orang ," ujar Anies.
Berikut isi memo Anies:
Kepada
Yth Jajaran Pimpinan Kemdikbud
Assalamu'alaikum wr wb
Kemarin saya mampir ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi materi refleksi dan susun langkah perubahan.
Begini ceritanya .....
"Inggih Pak , mboten napa-napa ," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apa , Pak. Itu jawabnya di saat saya minta maaf atas nama Kemdikbud.
Saya tanya kenapa dia hingga pergi ke Jakarta. "Saya ini sudah 59 tahun , Pak. Tahun depan pensiun. Kalau tahun ini ada dilema , saya takut tidak sanggup terima duit pensiun ," Ibu Mei menerangkan argumentasi kenapa ke Jakarta.
Itu hanya satu dari dua ratusan orang yang tiba di hari Jumat kemarin. Ibu guru itu berjulukan Ibu Mei , seorang guru Taman Kanak-kanak dari Kecamatan Mertoyudan , Kabupaten Magelang. Dia berangkat ke Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas Pendidikan Kab. Magelang.
Sesudah Jumatan , saya berlangsung melalui ULT. Tanpa sengaja , berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT.
Saya tanya apakah sudah beres , kemudian putrinya menjawab , "Tadi kami diminta oleh petugas ULT untuk mengorganisir ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana kemudian menanti namun petugasnya tidak ada."
"Sekarang mau ke mana?" tanya saya. Putrinya kemudian menjawab , "Kami mau ke bandara , terlanjur beli tiket PP sore ini." Semua diam. Saya terkejut , ya amat terkejut.
Bapak dan Ibu semua , seorang ibu guru Taman Kanak-kanak yang sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang sudah habiskan duit untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat.
Cukup sudah daerah ini jadi pangkal kekecewaan!!
Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK untuk merapikan hingga tuntas.
Bapak dan Ibu , ini tidak sebaiknya terjadi dan dihentikan berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.
Saya akan ceritakan lagi pengalaman konkret , pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan Bapak sekalian di saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang lalu.
Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengirim almarhum ayah ke Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta , akan mengorganisir soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kami sekeluarga melepas dengan sarat harap bahwa kepangkatannya sanggup beres. Beberapa hari kemudian , menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu diceritakan bahwa urusannya tidak selesai alasannya yakni pejabat yang berwenang sedang tidak di daerah dan yang lain tidak sanggup memutuskan. Ya , sama persis. Pulang kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.
Sekembalinya dari Jakarta , pagi itu juga ayah pribadi mengajar lagi. Ruang kelasnya dihentikan kosong terlalu lama.
Beberapa waktu kemudian , kami sekeluarga mengirim lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi ke Jakarta untuk merampungkan urusan kepegawaiannya , yang pada waktu itu dia sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bawa kopor dan tas dokumen berisi semua berkas-berkas penunjang.
Di perjalanan pulang dari stasiun , Ibu bergumam sambil matanya berkaca-kaca , "Kasihan abah jadi korban pergeseran aturan". Kami panggil ayah dengan istilah sunda , abah. Saya tidak ingat rincian aturannya , namun kami semua membisu sambil berharap kali ini beres.
Datang harinya dia kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau menjinjing kabar , tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil.
Saya ingat , kami duduk mengitari meja makan menyimak dongeng dia di saat mengorganisir di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen , mengantre di ruang tunggu , hingga akhirnya dijumpai sang pejabat. Detail dongeng beliau.
Kami semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di simpulan dialog pagi itu , dia menyampaikan kira-kira begini , biarlah negara tidak mengakui masa kerja ini namun yang penting ada di catatan Allah.
Hingga akhirnya hayatnya , pangkat ayah tidak pernah sanggup dituntaskan. Ayah mengajar lebih dari 40 tahun. Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiaannya didapat bukan dari selembar kertas pengukuhan negara , namun dari lembaran surat , kartu idul fitri , atau silaturahmi bekas murid-muridnya.
Setiap menyaksikan guru tiba ke Kemdikbud mengorganisir kepangkatan , sertifikasi , NUPTK dll , saya membayangkan mereka kelak pulang ke tempat tinggal disongsong oleh istri , suami dan bawah umur yang berharap dengar kabar baik , seumpama keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menanti kepulangan dengan sarat harap untuk suatu urusan yang sebaiknya tidak perlu terjadi.
Tugas mereka mengajar , mendidik , dan menginpsirasi. Tugas birokrasi pendidkkan yakni membuat lebih gampang mereka melakukan pekerjaan , bukan malah menyulitkan. Cukup sudah. Cukup kementerian ini jadi kontributor permasalahan tata kelola tanpa akhir.
Bapak dan Ibu , Laporan dari BKLM wacana jumlah guru yang tiba ke ULT Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata selaku data statistik untuk dianalisa.
Tiap angka itu yakni seorang insan cita-cita keluarga. Mereka yakni pilar keluarga. Anak , istri atau suami menanti sarat harap di kampung halaman. Mereka yakni pejuang yang sudah letih , sudah berkeringat di garis depan , di depan kelas untuk mendidik bawah umur kita.
Lunasi semua haknya. Permudah semua prosesnya. Manusiawikan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Di hari Sabtu siang , renungkan catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian , para Ibu dan Bapak guru yang tiba ke ULT.
Awal ahad depan , saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan tata kelola guru untuk merencanakan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan untuk melaksanakan instruksi.
Jika Bapak dan Ibu menemui halangan , ada yang menolak untuk berubah , ada yang tidak sanggup untuk mempersempit proses , maka tegur dengan keras dan tegas. Beri instruksi untuk minggir dari barisan
Sumber: cnnindonesia.com
Demikian suatu pemberitahuan ini , jangan anda kelewatan mesti dibaca sehigga banyak pemberitahuan yang memukau ,Terima kasih.
Sabtu pekan kemudian , Anies Baswedan seumpama biasa meluangkan diri menulis memo harian untuk jajarannya sembari menghabiskan waktu dalam perjalanan. Menulis memo , kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu , ialah salah satu rutinitasnya mempertahankan komunikasi dengan para bawahannya.
"Saya sering nulis-nulis pesan di saat dalam perjalanan. Memo ini prinsipnya untuk ingatkan mereka biar stick pada visi kami (Kemendikbud) ," kata Anies di sela rapat Kemendikbud dengan Komisi X di Gedung dewan perwakilan rakyat RI , Jakarta , kemarin.
Menulis memo , menurut Anies , ampuh untuk mempertahankan kedisiplinan jajarannya. Memo itu tak pernah ia sebar luaskan alasannya yakni khusus untuk internal kementerian.
"Saya tulis memo kemudian kirim ke grup WhatAapp khusus eselon I (Kemendikbud). Tapi terkadang mereka (pegawai eselon I) izin untuk sebar ke eselon lainnya. Ya sudah tidak tahu hingga mana lagi memo itu ," ujar Anies sembari tertawa.
Namun karenanya , salah satu memo internal Anies itu bocor Sabtu malam dan pribadi beredar trend di media sosial.
Isi memo yang bocor itu sama sekali tak menggembirakan alasannya yakni berisi murka Menteri Anies. Ia berang dan kecewa dengan kinerja jajarannya yang tak optimal melayani penduduk , terutama para guru.
Memo itu diawali dengan dongeng Anies kala berjumpa seorang guru Taman Kanak-kanak asal Magelang , Ibu Mei , di kantor kementeriannya. Saat itu Ibu Mei sedang mengorganisir surat kepangkatan , tetapi tak sukses merampungkan urusan surat itu karena petugas tak ada di tempat.
Padahal , Ibu Mei mesti secepatnya kembali ke Magelang alasannya yakni terlanjur memesan tiket pesawat pulang-pergi. Ibu Mei sudah hendak mengalah mengurusi surat kepangkatannya di saat berjumpa Menteri Anies –yang pribadi murka begitu mendengar dongeng guru Taman Kanak-kanak itu.
Anies geram , lantas mengajak Ibu Mei ke ruangannya. Tak usang sehabis peristiwa itu berlalu , memo berisi kemarahan Anies pun menyebar.
"Bapak dan Ibu semua , seorang ibu guru Taman Kanak-kanak yang sudah amat senior dari pinggiran Kabupaten Magelang sudah habiskan duit untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta pulang-pergi dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat. Ini tidak sebaiknya terjadi dan dihentikan berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG ," demikian kutipan isi memo internal Anies.
Anies menyesalkan hal seumpama itu masih terjadi pada lembaganya. Mestinya , kata Anies , petugas tidak meninggalkan daerah kerjanya di saat sedang berjaga biar tetap sanggup melayani masyarakat.
Anies pun mengancam akan memberi hukuman tegas terhadap bawahannya yang tertangkap lembap melakukan pekerjaan tanpa punya niat melayani masyarakat.
"Sanksi tegas ada , namun nanti dibicarakan internal saja. Saya enggak kegemaran mempermalukan orang ," ujar Anies.
Berikut isi memo Anies:
Kepada
Yth Jajaran Pimpinan Kemdikbud
Assalamu'alaikum wr wb
Kemarin saya mampir ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi materi refleksi dan susun langkah perubahan.
Begini ceritanya .....
"Inggih Pak , mboten napa-napa ," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apa , Pak. Itu jawabnya di saat saya minta maaf atas nama Kemdikbud.
Saya tanya kenapa dia hingga pergi ke Jakarta. "Saya ini sudah 59 tahun , Pak. Tahun depan pensiun. Kalau tahun ini ada dilema , saya takut tidak sanggup terima duit pensiun ," Ibu Mei menerangkan argumentasi kenapa ke Jakarta.
Itu hanya satu dari dua ratusan orang yang tiba di hari Jumat kemarin. Ibu guru itu berjulukan Ibu Mei , seorang guru Taman Kanak-kanak dari Kecamatan Mertoyudan , Kabupaten Magelang. Dia berangkat ke Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas Pendidikan Kab. Magelang.
Sesudah Jumatan , saya berlangsung melalui ULT. Tanpa sengaja , berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT.
Saya tanya apakah sudah beres , kemudian putrinya menjawab , "Tadi kami diminta oleh petugas ULT untuk mengorganisir ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana kemudian menanti namun petugasnya tidak ada."
"Sekarang mau ke mana?" tanya saya. Putrinya kemudian menjawab , "Kami mau ke bandara , terlanjur beli tiket PP sore ini." Semua diam. Saya terkejut , ya amat terkejut.
Bapak dan Ibu semua , seorang ibu guru Taman Kanak-kanak yang sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang sudah habiskan duit untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat.
Cukup sudah daerah ini jadi pangkal kekecewaan!!
Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK untuk merapikan hingga tuntas.
Bapak dan Ibu , ini tidak sebaiknya terjadi dan dihentikan berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.
Saya akan ceritakan lagi pengalaman konkret , pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan Bapak sekalian di saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang lalu.
Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengirim almarhum ayah ke Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta , akan mengorganisir soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kami sekeluarga melepas dengan sarat harap bahwa kepangkatannya sanggup beres. Beberapa hari kemudian , menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu diceritakan bahwa urusannya tidak selesai alasannya yakni pejabat yang berwenang sedang tidak di daerah dan yang lain tidak sanggup memutuskan. Ya , sama persis. Pulang kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.
Sekembalinya dari Jakarta , pagi itu juga ayah pribadi mengajar lagi. Ruang kelasnya dihentikan kosong terlalu lama.
Beberapa waktu kemudian , kami sekeluarga mengirim lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi ke Jakarta untuk merampungkan urusan kepegawaiannya , yang pada waktu itu dia sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bawa kopor dan tas dokumen berisi semua berkas-berkas penunjang.
Di perjalanan pulang dari stasiun , Ibu bergumam sambil matanya berkaca-kaca , "Kasihan abah jadi korban pergeseran aturan". Kami panggil ayah dengan istilah sunda , abah. Saya tidak ingat rincian aturannya , namun kami semua membisu sambil berharap kali ini beres.
Datang harinya dia kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau menjinjing kabar , tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil.
Saya ingat , kami duduk mengitari meja makan menyimak dongeng dia di saat mengorganisir di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen , mengantre di ruang tunggu , hingga akhirnya dijumpai sang pejabat. Detail dongeng beliau.
Kami semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di simpulan dialog pagi itu , dia menyampaikan kira-kira begini , biarlah negara tidak mengakui masa kerja ini namun yang penting ada di catatan Allah.
Hingga akhirnya hayatnya , pangkat ayah tidak pernah sanggup dituntaskan. Ayah mengajar lebih dari 40 tahun. Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiaannya didapat bukan dari selembar kertas pengukuhan negara , namun dari lembaran surat , kartu idul fitri , atau silaturahmi bekas murid-muridnya.
Setiap menyaksikan guru tiba ke Kemdikbud mengorganisir kepangkatan , sertifikasi , NUPTK dll , saya membayangkan mereka kelak pulang ke tempat tinggal disongsong oleh istri , suami dan bawah umur yang berharap dengar kabar baik , seumpama keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menanti kepulangan dengan sarat harap untuk suatu urusan yang sebaiknya tidak perlu terjadi.
Tugas mereka mengajar , mendidik , dan menginpsirasi. Tugas birokrasi pendidkkan yakni membuat lebih gampang mereka melakukan pekerjaan , bukan malah menyulitkan. Cukup sudah. Cukup kementerian ini jadi kontributor permasalahan tata kelola tanpa akhir.
Bapak dan Ibu , Laporan dari BKLM wacana jumlah guru yang tiba ke ULT Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata selaku data statistik untuk dianalisa.
Tiap angka itu yakni seorang insan cita-cita keluarga. Mereka yakni pilar keluarga. Anak , istri atau suami menanti sarat harap di kampung halaman. Mereka yakni pejuang yang sudah letih , sudah berkeringat di garis depan , di depan kelas untuk mendidik bawah umur kita.
Lunasi semua haknya. Permudah semua prosesnya. Manusiawikan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Di hari Sabtu siang , renungkan catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian , para Ibu dan Bapak guru yang tiba ke ULT.
Awal ahad depan , saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan tata kelola guru untuk merencanakan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan untuk melaksanakan instruksi.
Jika Bapak dan Ibu menemui halangan , ada yang menolak untuk berubah , ada yang tidak sanggup untuk mempersempit proses , maka tegur dengan keras dan tegas. Beri instruksi untuk minggir dari barisan
Sumber: cnnindonesia.com
Demikian suatu pemberitahuan ini , jangan anda kelewatan mesti dibaca sehigga banyak pemberitahuan yang memukau ,Terima kasih.
Tidak ada komentar untuk "Kisah Marah Anis Baswedan Dan Memo Yang Bocor"
Posting Komentar