Julukan Gres Kabinet Reshuffe Jilid Ii Jokowi-Jk.
Selamat malam......?salam makmur bagi segenap seluruh rakyat indonesia simak info berikut julukan dari kabinet jokowi:
Kabinet Kerja jilid kedua sudah ditangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari 13 posisi , sembilan menteri yaitu wajah gres dan empat menteri yang cuma bergeser posisi. Inilah realitas politik kompromi yang ditempuh Jokowi di tengah banyak tekanan dan kepentingan kekuasaan di lingkar Istana. Tak mudah menertibkan kapal besar republik ini dengan konfigurasi kekuatan politik penyokong kekuasaan yang beragam. Jokowi dihadapkan pada kenyataan , teramat sukar bagi pemilik hak prerogatif untuk memutuskan dan menyeleksi the dream team tanpa memikirkan politik representasi.

Akomodasi Politik
Realitas Kabinet Kerja tak semulus idealitas ihwal Nawacita. Sejak dilantik selaku presiden , Jokowi eksklusif dihadapkan pada problem yang sungguh kompleks. Ada pelambatan perkembangan ekonomi di dunia yang berimbas pada ekonomi nasional , referensi kekerabatan politik di dewan perwakilan rakyat yang terbelah pascapilpres , dan pasti cita-cita publik yang membumbung tinggi terhadap Jokowi. Akselerasi di ekspresi dominan pancaroba tahun pertama memicu Jokowi mengambil inisiatif reshuffle pertama pada Rabu (12/08/2015).
Ternyata , problematika masih terus mendera Kabinet Kerja , utamanya yang terasa eksklusif yaitu sektor ekonomi dan aneka ragam pelayanan publik bidang kesehatan , pendidikan , kemakmuran , dan sebagainya. Meski begitu , problem politik , aturan , dan keselamatan pun belum sungguh-sungguh memuaskan. Sudah niscaya tak ada kesuksesan instan , pun demikian dengan manajemen pemerintahan. Kendati demikian , target capaian utamanya yang memiliki pengaruh eksklusif pada perbaikan mesti dirasakan. Pada tahun pertama Jokowi masih diberi pemakluman sebab publik menyadari bukan kendala mudah menanggulangi kendala di negeri yang nyaris semua sektornya bermasalah.
Kini fasenya sudah berubah! Tahun kedua dan berikutnya yaitu tahun pembuktian. Cara kerja pemerintah menjadi cobaan kepemimpinan duet Jokowi-JK. Fase akselerasi dan produktivitas kerja yang mau dinilai setiap di saat oleh masyarakat. Karena itu , perombakan kabinet kali ini akan sungguh memutuskan arah dan langkah kabinet Jokowi di kemudian hari. Dalam konteks itulah , penting menakar reshuffle jilid kedua ini.
Jika menganalisa model reshuffle Jokowi kali ini , ada tiga ciri utamanya. Pertama , Jokowi mengeksplisitkan praktik fasilitas politik dengan memberi ruang pada partai-partai gres yang tiba belakangan yaitu Golkar dan PAN. Airlangga Hartarto yang menjabat menteri perindustrian mengambil alih Saleh Husin ialah representasi Golkar di kabinet. Pun demikian dengan Asman Abnur yang mengambil alih posisi menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi mengambil alih Yuddy Chrisnandi yaitu representasi derma PAN.
Dalam konteks inilah , budi kekuasaan kembali mewujud dalam praktik power sharing alias bagi-bagi kekuasaan sebab partai-partai senantiasa memaknai derma menyerupai saham yang mesti sanggup dikonversikan ke dalam jabatan. Tarik-menarik untuk mengakomodasi pendatang gres ke dalam gerbong kekuasaan inilah yang memicu gunjingan perombakan bergulir cukup lama. Beragam manuver persuasi dan bingkai opini di bermacam-macam jalan masuk komunikasi turut mewarnai gunjingan reshuffle ini berbulan-bulan.
Kedua , Jokowi mengorganisir keseimbangan politik dengan cara tetap menjaga konfigurasi kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya jatah Partai Hanura diberikan ke Wiranto yang ditunjuk menjadi menteri koordinator bidang politik , aturan dan keselamatan (menko polhukam) selaku kompensasi dicopotnya Saleh Husin selaku menteri perindustrian.
Pun demikian , posisi Ferry Mursidan Baldan (NasDem) yang dicopot selaku menteri agraria dan tata ruang secara tunai digantikan oleh posisi strategis yang lain yaitu Enggartiasto Lukita mengambil alih Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong. Menteri dari PKB pun tetap kondusif , sekadar berganti orang dari Marwan Jafar ke Eko Putro Sanjoyo selaku menteri pembangunan tempat tertinggal , desa , dan transmigrasi. Padahal , posisi kementrian yang diberikan ke PKB ini sungguh disukai PDIP. Gamblang sekali bahwa Jokowi tidak mau ambil risiko dengan meminimalisir jatah partai-partai penunjang yang sudah ada sejak semula. Ini memberi makna bahwa Jokowi memelihara keseimbangan politik dan zona tenteram kekuasaan lewat format koalisi besar partai politik mirip juga dipraktikkan kala SBY.
Ketiga , pembongkaran barisan kalangan profesional nonpartai yang performanya (mungkin) tak terlalu cantik atau sanggup juga sebab tak memiliki jangkar politik kuat. Di posisi ini ada Ignasius Jonan yang digantikan Budi Karya Sumadi yang menjabat menteri perhubungan (menhub). Sudirman Said yang digantikan Archandra Tahar selaku menteri energi sumber daya mineral (ESDM) , dan Anies Baswedan yang digantikan Muhajir Effendy selaku mendikbud (mendikbud). Meski demikian , ada juga profesional yang sekadar direposisi yaitu Bambang Brodjonegoro ke menteri PPN/kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) , sementara posisi lamanya selaku menteri keuangan digantikan oleh Sri Mulyani. Nama Sri Mulyani inilah yang layak diapresiasi , di tengah problem ekonomi yang mendera Kabinet Kerja , kehadiran Sri Mulyani menjadi ”oase” sekaligus opsi pintar Jokowi.
Kinerja atau Kuasa?
Saat kampanye Pilpres 2014 hal menawan dari komitmen Jokowi yaitu koalisi yang dibangunnya tanpa syarat dan akan membentuk pemerintahan ramping yang efektif. Ucapan tersebut pasti bukan sekadar mantra penarik bunyi , melainkan komitmen suci terhadap pemilik mandat kuasa yaitu rakyat Indonesia. Setiap perombakan mengemuka senantiasa timbul pertanyaan fundamental , bahu-membahu reshuffle ini untuk apa? Jika menggunakan perspektif publik , harusnya perombakan untuk perbaikan kinerja sehingga sanggup dicicipi kebermanfaatannya oleh orang banyak. Sementara , jikalau menggunakan perspektif elite , perombakan akan terjebak pada sandera kuasa. Polanya lebih pada opsi figur representasi dan fasilitas politik. Jika senantiasa kuasa yang menjadi pertimbangannya , kesan tambal sulam tak terhindari.
Misalnya dalam opsi orang partai yang menjadi menteri , apakah Jokowi masih ingat ucapannya bahwa menteri Kabinet Kerja tak boleh rangkap jabatan dengan posisinya selaku ketua lazim partai politik. Bagaimana dengan posisi Wiranto? Rasanya perlakuannya mesti sama , yaitu menteri-menteri Jokowi mesti konsentrasi melakukan pekerjaan tanpa terbebani tanggung jawab politik selaku orang nomor satu di partai yang mesti dibesarkannya. Hal lain semestinya Jokowi tak memindah orang yang serupa lebih dari dua kali terlebih hingga tiga kali dalam jabatan-jabatan berlainan di kabinetnya. Hal ini dialami Sofyan Djalil yang sudah berganti-ganti posisi dari menko perekonomian , ke kepala Bapenas dan kini ke menteri agraria dan tata ruang/kepala Badan Pertanahan Nasional. Hal ini akan terkesan sekadar menjaga kuasa dibanding orientasi kerja.
Apa yang paling publik tunggu seusai hiruk-pikuk perombakan? Jawabannya sudah niscaya tampilan kerja. Pacanowsky dan ODonnell dalam bukunya , Communication and Organizational Culture (1982) , menulis tampilan menggambarkan proses simbolik dari pengertian akan sikap dalam organisasi. Dalam konteks Kabinet Kerja pasti terkait dengan pengertian rakyat akan peran kabinet ini melayani mereka. Performa tak cukup cuma gambaran , melainkan kerja konkret yang tak sanggup direkayasa oleh jutaan kata-kata dusta sekalipun memesona!
Sumber:nasional.sindonews.com
Kita berharap dan berdoa biar perubahan- pergantian yang ditangani bapak joko widodo menampilkan angin segar bagi seluruh rakyat indonesia.Terima kasih
Tidak ada komentar untuk "Julukan Gres Kabinet Reshuffe Jilid Ii Jokowi-Jk."
Posting Komentar